Adjie Suradji
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.
Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soe- harto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.
Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.
Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?
Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.
Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?
Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?
Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).
Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.
Adjie Suradji Anggota TNI AU
Terlepas dari melawan adat dan terlepas dari siapakah Adjie Suradji sebenarnya, namun tulisan tersebut semoga menyadarkan pemimpin bangsa ini, untuk membawa Indonesia yang lebih baik, dan berkeadilan sosial.
Showing posts with label Politics. Show all posts
Showing posts with label Politics. Show all posts
Tuesday, September 7, 2010
Friday, July 24, 2009
Tanggapan Bambang Dharmono atas tulisan JK
Benarkah GAM menyerahkan senjata dalam keadaan terpotong-potong?
Oleh : Letjen TNI Bambang Darmono
Wakil Presiden Jusuf Kalla, melalui blognya di Kompasiana.com, telah merilis artikel berjudul “Kisah di balik layar damai Aceh”. Sebagai pelaku sejarah, yang juga mantan Pangkoops TNI di Aceh serta Komandan Satgas Bantuan TNI pasca tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, saya juga terlibat tahap demi tahap proses perdamaian di Aceh sejak Informal meeting putaran keempat pada awal Juli 2005. Oleh karena itu saya membuat tulisan yang bertujuan meluruskan beberapa hal yang disinggung dalam tulisan tersebut.
“Kisah di balik layar damai Aceh” ditulis oleh Jusuf Kalla sebagai salah satu tokoh yang ikut memprakarsai proses damai Aceh. Saya mengatakan ikut memprakarsai karena proses penyelesaian damai yang memang diamanatkan oleh Tap MPR RI NO VI tahun 2002 telah dilakukan oleh beberapa pejabat pemerintah lainnya, bukan hanya oleh Jusuf Kalla.
Sebut saja Abdurrahman Wahid, pada tahun 2000, yang menghasilkan kebijakan penyelesaian damai melalui “Jeda Kemanusiaan”. Proses ini berlanjut di masa pemerintahan Megawati dengan adanya penyelesaian damai melalui COHA (cessation on hostility agreement). COSA secara resmi berakhir dengan kegagalan, pada 18 Mei 2003, dalam sebuah pertemuan di Tokyo.
Secara eksplisit kandungan memorandum of understanding (MoU) Helsinki mengandung unsur semangat dan kehendak bersama yang melandasi mengapa penyelesaian damai harus dijalankan oleh kedua belah pihak. Semangat dan kehendak bersama tersebut telah diartikulasikan dalam Preambul MoU Helsinki yang secara jelas meneguhkan kebutuhan perdamaian sebagai prasyarat rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami. Kesepakatan Helsinki juga secara jelas menekankan pengakuan dan penghormatan atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945.
Dalam pandangan saya, pengakuan dan penghormatan ini pada dasarnya merupakan pencapaian political objective tertinggi dari seluruh proses yang dilakukan oleh Pemerintah RI di Aceh. Hal ini karena apa pun yang dilakukan pemerintah, baik melalui pendekatan hard maupun soft power, sasaran politik yang utama adalah pengakuan pihak GAM terhadap keutuhan NKRI dan UUD 1945.
Pengaturan proses perdamaian secara lengkap tercantum di dalam batang tubuh MoU Helsinki. Proses inilah yang kemudian menghasilkan perdamaian di Aceh sebagaimana kita rasakan saat ini. Atas keberhasilan ini semua sepatutnya kita harus mengapresiasi kepada seluruh penggagas dan perumus MoU Helsinki.
Namun, ketika saya membaca dan memaknai keseluruhan artikel tersebut, saya mendapati ada informasi yang kurang akurat. Sebagai pelaku sejarah, saya tentu tergerak untuk mengemukakan kepada masyarakat tentang bagaimana proses tersebut sebenarnya berjalan. Langkah ini penting agar tidak memberikan pandangan yang bias dalam masyarakat, khususnya tentang bagaimana proses penyerahan senjata GAM dijalankan.
Artikel tersebut mengungkapkan bahwa GAM tidak perlu menyerahkan senjata, tetapi memotong sendiri senjatanya di tengah lapangan dan disaksikan seluruh pihak. Pernyataan tersebut tidak tepat. Kejadian di lapangan yang sesungguhnya tidak semudah dan selancar itu. Jelas dibutuhkan sebuah proses panjang yang memerlukan kegigihan dan keuletan perwakilan pemerintah RI, termasuk keseluruhan delegasi, untuk berunding dan merekomendasikan cara bertindak yang dapat disepakati oleh pihak GAM dan AMM (Aceh Monitoring Mission).
Pertimbangan utama yang dipikirkan perwakilan pemerintah RI saat itu adalah bahwa proses penyerahan senjata GAM harus transparan dan dapat diliput media. Alasannya, agar seluruh rakyat Indonesia dapat melihatnya dengan jelas atas proses penyerahan senjata pihak GAM kepada pihak AMM.
Pihak pemerintah RI harus menjadi saksi atas keseluruhan proses penyerahan senjata. Baik dari aspek jumlah, jenis senjata yang diserahkan, serta proses uji apakah senjata yang diserahkan tergolong standard atau bukan. Hal ini penting karena perlunya mengembangkan opini publik tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap GAM.
Walhasil, proses decommissioning yang ditandai dengan penyerahan senjata GAM kepada AMM menyertakan saksi dari Pemerintah RI dan juga dari AMM. Para saksi memeriksa jumlah senjata yang diserahkan, meneliti jenisnya, dan menguji standarisasi senjata tersebut. Proses berikutnya setelah pemeriksaan, senjata dipotong-potong oleh petugas dari AMM. Dengan demikian, bukan GAM yang memotong-motong senjata seperti yang disebutkan dalam tulisan “Di Balik Layar Damai Aceh”.
Pada saat itu jumlah senjata yang diserahkan GAM ada 1.018 pucuk dari 840 pucuk yang harus diserahkan menurut MoU Helsinki. Pihak AMM dapat menerima sebanyak 840 pucuk, namun perwakilan Pemerintah RI hanya mengakui 769 pucuk. Ada 178 pucuk senjata yang ditolak Pemerintah RI karena tidak memenuhi ketentuan standarisasi senjata. Dari segi proses maupun jumlah senjata yang diserahkan GAM, hal ini menggambarkan keberhasilan pihak Pemerintah RI untuk dapat menarik senjata GAM sebanyak-banyaknya.
Perlu dikemukakan bahwa dalam MoU khususnya yang mengatur penyerahan senjata, Pemerintah RI hanya menyediakan tempat pengumpulan senjata. Proses penyerahan senjata hanya dilakukan antara GAM dan AMM. Tidak satu pun kalimat dalam MoU yang menentukan bahwa senjata yang diserahkan adalah senjata standard, dan bahkan tidak satupun kalimat yang memungkinkan pihak Pemerintah RI menjadi saksi dan penentu apakah senjata tersebut senjata standard atau bukan.
Namun demikian, terbukti bahwa pada pelaksanaannya, perwakilan Pemerintah RI memiliki peran dan wewenang sebagai saksi dan menguji standar senjata. Tentu saja hal ini dapat terwujud karena kegigihan seluruh delegasi perunding pihak Pemerintah RI dalam Commision on security arrangement (Cosa), khususnya pada pertemuan ke-2, 3, 4, 5 dan 6.
Salah satu penunjang keberhasilan tim perunding adalah dipahaminya kondisi kejiwaan masyarakat yang ketika itu memiliki resistensi terhadap jalannya MoU Helsinki. Sebuah hal yang bisa dipahami mengingat proses jalan damai Aceh yang ditempuh oleh Pemerintah dengan melibatkan pihak CMI dari Finlandia dan tidak didahului dengan pembicaraan dengan DPR.
Realitas wacana politik yang mengemuka saat itu adalah resistensi masyarakat atas proses MoU Helsinki dan internasionalisasi masalah domestik. Memang benar bahwa keteguhan hati untuk menjalankan agenda akan membuahkan hasil. Akan tetapi keteguhan hati yang tidak menghiraukan kondisi kejiwaan yang sedang berlaku akan mempersulit pencapaian agenda dan bahkan dapat mengagalkannya. Patut pula ditekankan bahwa hal ini adalah pencapaian bersama tim perunding, bukan hanya satu dua tokoh.
-----
Walaupun tulisan ini tulisan sewaktu ramai-ramainya kampanye pilpres, namun bagi saya sangat menarik fenomenanya. Di mana waktu kampanye JK di Aceh, JK mengeluarkan pernyataan bahwa, beliau sangat berperan dalam perdamaian aceh, namun di saat pemilu aceh, suara JK-Wiranto hanya mendapatkan 4.35 % atau 97.717 suara sah(sumber tabulasi kpu)
Dan yang paling mendapatkan suara adalah rival utama dari capres-cawapres yaitu pasangan SBY-Budiono. Lalu siapakah yang paling berperan dalam perdamaian Aceh? jawabannya adalah masing2 pihak yang terkait, mulai dari rakyat aceh, GAM, pemerintah. Bukan milik salah satu orang yang hanya pandai klaim.
Oleh : Letjen TNI Bambang Darmono
Wakil Presiden Jusuf Kalla, melalui blognya di Kompasiana.com, telah merilis artikel berjudul “Kisah di balik layar damai Aceh”. Sebagai pelaku sejarah, yang juga mantan Pangkoops TNI di Aceh serta Komandan Satgas Bantuan TNI pasca tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, saya juga terlibat tahap demi tahap proses perdamaian di Aceh sejak Informal meeting putaran keempat pada awal Juli 2005. Oleh karena itu saya membuat tulisan yang bertujuan meluruskan beberapa hal yang disinggung dalam tulisan tersebut.
“Kisah di balik layar damai Aceh” ditulis oleh Jusuf Kalla sebagai salah satu tokoh yang ikut memprakarsai proses damai Aceh. Saya mengatakan ikut memprakarsai karena proses penyelesaian damai yang memang diamanatkan oleh Tap MPR RI NO VI tahun 2002 telah dilakukan oleh beberapa pejabat pemerintah lainnya, bukan hanya oleh Jusuf Kalla.
Sebut saja Abdurrahman Wahid, pada tahun 2000, yang menghasilkan kebijakan penyelesaian damai melalui “Jeda Kemanusiaan”. Proses ini berlanjut di masa pemerintahan Megawati dengan adanya penyelesaian damai melalui COHA (cessation on hostility agreement). COSA secara resmi berakhir dengan kegagalan, pada 18 Mei 2003, dalam sebuah pertemuan di Tokyo.
Secara eksplisit kandungan memorandum of understanding (MoU) Helsinki mengandung unsur semangat dan kehendak bersama yang melandasi mengapa penyelesaian damai harus dijalankan oleh kedua belah pihak. Semangat dan kehendak bersama tersebut telah diartikulasikan dalam Preambul MoU Helsinki yang secara jelas meneguhkan kebutuhan perdamaian sebagai prasyarat rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami. Kesepakatan Helsinki juga secara jelas menekankan pengakuan dan penghormatan atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945.
Dalam pandangan saya, pengakuan dan penghormatan ini pada dasarnya merupakan pencapaian political objective tertinggi dari seluruh proses yang dilakukan oleh Pemerintah RI di Aceh. Hal ini karena apa pun yang dilakukan pemerintah, baik melalui pendekatan hard maupun soft power, sasaran politik yang utama adalah pengakuan pihak GAM terhadap keutuhan NKRI dan UUD 1945.
Pengaturan proses perdamaian secara lengkap tercantum di dalam batang tubuh MoU Helsinki. Proses inilah yang kemudian menghasilkan perdamaian di Aceh sebagaimana kita rasakan saat ini. Atas keberhasilan ini semua sepatutnya kita harus mengapresiasi kepada seluruh penggagas dan perumus MoU Helsinki.
Namun, ketika saya membaca dan memaknai keseluruhan artikel tersebut, saya mendapati ada informasi yang kurang akurat. Sebagai pelaku sejarah, saya tentu tergerak untuk mengemukakan kepada masyarakat tentang bagaimana proses tersebut sebenarnya berjalan. Langkah ini penting agar tidak memberikan pandangan yang bias dalam masyarakat, khususnya tentang bagaimana proses penyerahan senjata GAM dijalankan.
Artikel tersebut mengungkapkan bahwa GAM tidak perlu menyerahkan senjata, tetapi memotong sendiri senjatanya di tengah lapangan dan disaksikan seluruh pihak. Pernyataan tersebut tidak tepat. Kejadian di lapangan yang sesungguhnya tidak semudah dan selancar itu. Jelas dibutuhkan sebuah proses panjang yang memerlukan kegigihan dan keuletan perwakilan pemerintah RI, termasuk keseluruhan delegasi, untuk berunding dan merekomendasikan cara bertindak yang dapat disepakati oleh pihak GAM dan AMM (Aceh Monitoring Mission).
Pertimbangan utama yang dipikirkan perwakilan pemerintah RI saat itu adalah bahwa proses penyerahan senjata GAM harus transparan dan dapat diliput media. Alasannya, agar seluruh rakyat Indonesia dapat melihatnya dengan jelas atas proses penyerahan senjata pihak GAM kepada pihak AMM.
Pihak pemerintah RI harus menjadi saksi atas keseluruhan proses penyerahan senjata. Baik dari aspek jumlah, jenis senjata yang diserahkan, serta proses uji apakah senjata yang diserahkan tergolong standard atau bukan. Hal ini penting karena perlunya mengembangkan opini publik tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap GAM.
Walhasil, proses decommissioning yang ditandai dengan penyerahan senjata GAM kepada AMM menyertakan saksi dari Pemerintah RI dan juga dari AMM. Para saksi memeriksa jumlah senjata yang diserahkan, meneliti jenisnya, dan menguji standarisasi senjata tersebut. Proses berikutnya setelah pemeriksaan, senjata dipotong-potong oleh petugas dari AMM. Dengan demikian, bukan GAM yang memotong-motong senjata seperti yang disebutkan dalam tulisan “Di Balik Layar Damai Aceh”.
Pada saat itu jumlah senjata yang diserahkan GAM ada 1.018 pucuk dari 840 pucuk yang harus diserahkan menurut MoU Helsinki. Pihak AMM dapat menerima sebanyak 840 pucuk, namun perwakilan Pemerintah RI hanya mengakui 769 pucuk. Ada 178 pucuk senjata yang ditolak Pemerintah RI karena tidak memenuhi ketentuan standarisasi senjata. Dari segi proses maupun jumlah senjata yang diserahkan GAM, hal ini menggambarkan keberhasilan pihak Pemerintah RI untuk dapat menarik senjata GAM sebanyak-banyaknya.
Perlu dikemukakan bahwa dalam MoU khususnya yang mengatur penyerahan senjata, Pemerintah RI hanya menyediakan tempat pengumpulan senjata. Proses penyerahan senjata hanya dilakukan antara GAM dan AMM. Tidak satu pun kalimat dalam MoU yang menentukan bahwa senjata yang diserahkan adalah senjata standard, dan bahkan tidak satupun kalimat yang memungkinkan pihak Pemerintah RI menjadi saksi dan penentu apakah senjata tersebut senjata standard atau bukan.
Namun demikian, terbukti bahwa pada pelaksanaannya, perwakilan Pemerintah RI memiliki peran dan wewenang sebagai saksi dan menguji standar senjata. Tentu saja hal ini dapat terwujud karena kegigihan seluruh delegasi perunding pihak Pemerintah RI dalam Commision on security arrangement (Cosa), khususnya pada pertemuan ke-2, 3, 4, 5 dan 6.
Salah satu penunjang keberhasilan tim perunding adalah dipahaminya kondisi kejiwaan masyarakat yang ketika itu memiliki resistensi terhadap jalannya MoU Helsinki. Sebuah hal yang bisa dipahami mengingat proses jalan damai Aceh yang ditempuh oleh Pemerintah dengan melibatkan pihak CMI dari Finlandia dan tidak didahului dengan pembicaraan dengan DPR.
Realitas wacana politik yang mengemuka saat itu adalah resistensi masyarakat atas proses MoU Helsinki dan internasionalisasi masalah domestik. Memang benar bahwa keteguhan hati untuk menjalankan agenda akan membuahkan hasil. Akan tetapi keteguhan hati yang tidak menghiraukan kondisi kejiwaan yang sedang berlaku akan mempersulit pencapaian agenda dan bahkan dapat mengagalkannya. Patut pula ditekankan bahwa hal ini adalah pencapaian bersama tim perunding, bukan hanya satu dua tokoh.
-----
Walaupun tulisan ini tulisan sewaktu ramai-ramainya kampanye pilpres, namun bagi saya sangat menarik fenomenanya. Di mana waktu kampanye JK di Aceh, JK mengeluarkan pernyataan bahwa, beliau sangat berperan dalam perdamaian aceh, namun di saat pemilu aceh, suara JK-Wiranto hanya mendapatkan 4.35 % atau 97.717 suara sah(sumber tabulasi kpu)
Dan yang paling mendapatkan suara adalah rival utama dari capres-cawapres yaitu pasangan SBY-Budiono. Lalu siapakah yang paling berperan dalam perdamaian Aceh? jawabannya adalah masing2 pihak yang terkait, mulai dari rakyat aceh, GAM, pemerintah. Bukan milik salah satu orang yang hanya pandai klaim.
Subscribe to:
Posts (Atom)