Benarkah GAM menyerahkan senjata dalam keadaan terpotong-potong?
Oleh : Letjen TNI Bambang Darmono
Wakil Presiden Jusuf Kalla, melalui blognya di Kompasiana.com, telah merilis artikel berjudul “Kisah di balik layar damai Aceh”. Sebagai pelaku sejarah, yang juga mantan Pangkoops TNI di Aceh serta Komandan Satgas Bantuan TNI pasca tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, saya juga terlibat tahap demi tahap proses perdamaian di Aceh sejak Informal meeting putaran keempat pada awal Juli 2005. Oleh karena itu saya membuat tulisan yang bertujuan meluruskan beberapa hal yang disinggung dalam tulisan tersebut.
“Kisah di balik layar damai Aceh” ditulis oleh Jusuf Kalla sebagai salah satu tokoh yang ikut memprakarsai proses damai Aceh. Saya mengatakan ikut memprakarsai karena proses penyelesaian damai yang memang diamanatkan oleh Tap MPR RI NO VI tahun 2002 telah dilakukan oleh beberapa pejabat pemerintah lainnya, bukan hanya oleh Jusuf Kalla.
Sebut saja Abdurrahman Wahid, pada tahun 2000, yang menghasilkan kebijakan penyelesaian damai melalui “Jeda Kemanusiaan”. Proses ini berlanjut di masa pemerintahan Megawati dengan adanya penyelesaian damai melalui COHA (cessation on hostility agreement). COSA secara resmi berakhir dengan kegagalan, pada 18 Mei 2003, dalam sebuah pertemuan di Tokyo.
Secara eksplisit kandungan memorandum of understanding (MoU) Helsinki mengandung unsur semangat dan kehendak bersama yang melandasi mengapa penyelesaian damai harus dijalankan oleh kedua belah pihak. Semangat dan kehendak bersama tersebut telah diartikulasikan dalam Preambul MoU Helsinki yang secara jelas meneguhkan kebutuhan perdamaian sebagai prasyarat rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pascatsunami. Kesepakatan Helsinki juga secara jelas menekankan pengakuan dan penghormatan atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945.
Dalam pandangan saya, pengakuan dan penghormatan ini pada dasarnya merupakan pencapaian political objective tertinggi dari seluruh proses yang dilakukan oleh Pemerintah RI di Aceh. Hal ini karena apa pun yang dilakukan pemerintah, baik melalui pendekatan hard maupun soft power, sasaran politik yang utama adalah pengakuan pihak GAM terhadap keutuhan NKRI dan UUD 1945.
Pengaturan proses perdamaian secara lengkap tercantum di dalam batang tubuh MoU Helsinki. Proses inilah yang kemudian menghasilkan perdamaian di Aceh sebagaimana kita rasakan saat ini. Atas keberhasilan ini semua sepatutnya kita harus mengapresiasi kepada seluruh penggagas dan perumus MoU Helsinki.
Namun, ketika saya membaca dan memaknai keseluruhan artikel tersebut, saya mendapati ada informasi yang kurang akurat. Sebagai pelaku sejarah, saya tentu tergerak untuk mengemukakan kepada masyarakat tentang bagaimana proses tersebut sebenarnya berjalan. Langkah ini penting agar tidak memberikan pandangan yang bias dalam masyarakat, khususnya tentang bagaimana proses penyerahan senjata GAM dijalankan.
Artikel tersebut mengungkapkan bahwa GAM tidak perlu menyerahkan senjata, tetapi memotong sendiri senjatanya di tengah lapangan dan disaksikan seluruh pihak. Pernyataan tersebut tidak tepat. Kejadian di lapangan yang sesungguhnya tidak semudah dan selancar itu. Jelas dibutuhkan sebuah proses panjang yang memerlukan kegigihan dan keuletan perwakilan pemerintah RI, termasuk keseluruhan delegasi, untuk berunding dan merekomendasikan cara bertindak yang dapat disepakati oleh pihak GAM dan AMM (Aceh Monitoring Mission).
Pertimbangan utama yang dipikirkan perwakilan pemerintah RI saat itu adalah bahwa proses penyerahan senjata GAM harus transparan dan dapat diliput media. Alasannya, agar seluruh rakyat Indonesia dapat melihatnya dengan jelas atas proses penyerahan senjata pihak GAM kepada pihak AMM.
Pihak pemerintah RI harus menjadi saksi atas keseluruhan proses penyerahan senjata. Baik dari aspek jumlah, jenis senjata yang diserahkan, serta proses uji apakah senjata yang diserahkan tergolong standard atau bukan. Hal ini penting karena perlunya mengembangkan opini publik tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap GAM.
Walhasil, proses decommissioning yang ditandai dengan penyerahan senjata GAM kepada AMM menyertakan saksi dari Pemerintah RI dan juga dari AMM. Para saksi memeriksa jumlah senjata yang diserahkan, meneliti jenisnya, dan menguji standarisasi senjata tersebut. Proses berikutnya setelah pemeriksaan, senjata dipotong-potong oleh petugas dari AMM. Dengan demikian, bukan GAM yang memotong-motong senjata seperti yang disebutkan dalam tulisan “Di Balik Layar Damai Aceh”.
Pada saat itu jumlah senjata yang diserahkan GAM ada 1.018 pucuk dari 840 pucuk yang harus diserahkan menurut MoU Helsinki. Pihak AMM dapat menerima sebanyak 840 pucuk, namun perwakilan Pemerintah RI hanya mengakui 769 pucuk. Ada 178 pucuk senjata yang ditolak Pemerintah RI karena tidak memenuhi ketentuan standarisasi senjata. Dari segi proses maupun jumlah senjata yang diserahkan GAM, hal ini menggambarkan keberhasilan pihak Pemerintah RI untuk dapat menarik senjata GAM sebanyak-banyaknya.
Perlu dikemukakan bahwa dalam MoU khususnya yang mengatur penyerahan senjata, Pemerintah RI hanya menyediakan tempat pengumpulan senjata. Proses penyerahan senjata hanya dilakukan antara GAM dan AMM. Tidak satu pun kalimat dalam MoU yang menentukan bahwa senjata yang diserahkan adalah senjata standard, dan bahkan tidak satupun kalimat yang memungkinkan pihak Pemerintah RI menjadi saksi dan penentu apakah senjata tersebut senjata standard atau bukan.
Namun demikian, terbukti bahwa pada pelaksanaannya, perwakilan Pemerintah RI memiliki peran dan wewenang sebagai saksi dan menguji standar senjata. Tentu saja hal ini dapat terwujud karena kegigihan seluruh delegasi perunding pihak Pemerintah RI dalam Commision on security arrangement (Cosa), khususnya pada pertemuan ke-2, 3, 4, 5 dan 6.
Salah satu penunjang keberhasilan tim perunding adalah dipahaminya kondisi kejiwaan masyarakat yang ketika itu memiliki resistensi terhadap jalannya MoU Helsinki. Sebuah hal yang bisa dipahami mengingat proses jalan damai Aceh yang ditempuh oleh Pemerintah dengan melibatkan pihak CMI dari Finlandia dan tidak didahului dengan pembicaraan dengan DPR.
Realitas wacana politik yang mengemuka saat itu adalah resistensi masyarakat atas proses MoU Helsinki dan internasionalisasi masalah domestik. Memang benar bahwa keteguhan hati untuk menjalankan agenda akan membuahkan hasil. Akan tetapi keteguhan hati yang tidak menghiraukan kondisi kejiwaan yang sedang berlaku akan mempersulit pencapaian agenda dan bahkan dapat mengagalkannya. Patut pula ditekankan bahwa hal ini adalah pencapaian bersama tim perunding, bukan hanya satu dua tokoh.
-----
Walaupun tulisan ini tulisan sewaktu ramai-ramainya kampanye pilpres, namun bagi saya sangat menarik fenomenanya. Di mana waktu kampanye JK di Aceh, JK mengeluarkan pernyataan bahwa, beliau sangat berperan dalam perdamaian aceh, namun di saat pemilu aceh, suara JK-Wiranto hanya mendapatkan 4.35 % atau 97.717 suara sah(sumber tabulasi kpu)
Dan yang paling mendapatkan suara adalah rival utama dari capres-cawapres yaitu pasangan SBY-Budiono. Lalu siapakah yang paling berperan dalam perdamaian Aceh? jawabannya adalah masing2 pihak yang terkait, mulai dari rakyat aceh, GAM, pemerintah. Bukan milik salah satu orang yang hanya pandai klaim.
No comments:
Post a Comment