Friday, September 17, 2010

Ngeper Perang Siaga di Perundingan

Ngeper Perang Siaga di Perundingan

SEMANGAT tempur bergelora di dada Sersan Kepala Edy Musyawan. Gigi gerahamnya gemerutuk menahan amarah. Prajurit TNI Angkatan Laut itu berdiri di atas dek kapal perang KRI Rencong dengan mata menyala. Edy seakan hendak menerkam kapal perang Malaysia yang berkeliaran di sekitar Ambalat, perbatasan RI-Malaysia, di Laut Sulawesi.

"Kalau mau tempur, siap!" kata Edy sembari mengacungkan tinjunya. Ia bilang, naluri perangnya tertantang saat melihat manuver provokatif kapal perang Malaysia. Di mata Edy, kapal negara jiran itu makin lama kian kurang ajar. Sejak Kamis pekan silam, jumlah armada mereka yang lalu lalang di kawasan sengketa itu makin bertambah banyak.

Sebelumnya, hanya terlihat dua kapal perang. Kini enam kapal Kerajaan Malaysia yang berpatroli. Dengan teropong KRI K.S. Tubun, Gatra melihat armada tempur Malaysia bergerak ke wilayah Indonesia. Kapal perang Diraja Malaysia (KD) Sri Johor berada di barisan terdepan. Disusul KD Buang dan KD Kota Baharu. Mereka konvoi bersama dua kapal patroli polisi Malaysia.

Manuver tentara Diraja Malaysia itu tak dibiarkan oleh tentara Indonesia. Tiga kapal perang Indonesia --KRI Wiratno, KRI Tongkol, dan KRI Tedong Naga-- segera menghadang. KD Sri Johor putar haluan setelah berhadapan dengan KRI Tongkol dalam jarak sekitar 30 meter. Begitu juga kapal Malaysia lainnya.

Tidak terjadi pembicaraan lewat radio antara dua awal kapal perang yang berseteru itu. "Kontak radio dengan mereka? No way," ujar Komandan KRI K.S. Tubun, Letnan Kolonel I Nyoman Gede Aryawan. "Arahan dari pimpinan TNI sudah jelas, jangan diskusi di lapangan," Aryawan menegaskan. Sebelumnya, sempat terjadi perang mulut lewat radio antara KRI Rencong dan kapal perang Malaysia KD Kerambit.

Dua kapal perang itu nyaris bentrok di perairan sekitar Takat Unarang --nama resmi Karang Unarang, Sabtu dua pekan lalu. Waktu itu, KRI Rencong berpatroli mengawal pembangunan rambu suar di situ. Ternyata, di perairan itu sudah ada KD Kerambit. KRI Rencong berada di perairan Indonesia, koordinat 03.59 lintang utara (LU)-118.4 bujur timur (BT).

Sedangkan KD Kerambit berada di posisi 04.01 LU-118.05 BT. Jarak mereka tak sampai sepelemparan peluru. "Mungkin area tersebut telah diklaim pihak Malaysia sebagai wilayahnya," kata Letnan Kolonel Marsetio, Kepala Staf Gugus Tempur Laut Komando Armada RI Kawasan Timur.

Lewat kontak radio, awak kapal perang Malaysia menyebut KRI Rencong memasuki wilayah perairannya. KD Kerambit menyuruh KRI Rencong putar haluan. Mendengar seruan itu, KRI Rencong langsung menjawab bahwa kapal Malaysia yang justru masuk wilayah Indonesia. "Sempat terjadi adu argumen mengenai kedaulatan wilayah tersebut," kata Marsetio pula.

Setelah berulang kali KRI Rencong mengingatkan bahwa laut yang diarungi KD Kerambit adalah wilayah RI, kapal Malaysia itu putar haluan. KRI Rencong terus membuntuti kapal tersebut hingga jarak sekitar 900 meter. Melalui radio, awak kapal Malaysia berkecepatan 21 knot itu mendesak agar pembangunan suar di Takat Unarang dihentikan.

Indonesia tak menggubris permintaan Malaysia itu. Pembangunan rambu suar di Takat Unarang jalan terus. Agar para pekerja tenang, pembangunan menara suar itu ditunggui 10 personel pasukan Marinir TNI Angkatan Laut. Sampai akhir pekan lalu, pembangunan menara suar itu sudah mencapai 60%.

Meruncingnya hubungan RI-Malaysia bermula dari langkah perusahaan minyak Malaysia, Petronas, yang memberi konsesi eksplorasi kepada perusahaan Inggris-Belanda, Shell, 16 Februari lalu. Malaysia mengklaim wilayah sebelah timur laut Kalimantan Timur itu miliknya. Ia menyebut wilayah Ambalat Blok XZY berdasarkan peta yang dibuatnya pada 1979.

Indonesia menyebut blok yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Wilayah di kedua blok ini diperkirakan mengandung minyak dan gas ratusan juta barel. Di Blok Ambalat ini, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI, perusahaan minyak Italia. Blok Ambalat Timur diberikan kepada perusahaan Amerika Serikat, Unocal. Dalam rangka mengamankan Blok Ambalat, Indonesia lantas mendirikan menara suar di Takat Unarang, masih terbilang kawasan Ambalat.

Kemudian terjadilah insiden Takat Unarang. Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka, 21 Februari lalu. Mareka baru dilepaskan setelah dijemur selama empat jam di atas geladak kapal perang KD Sri Malaka. Mendengar kabar tak sedap itu, KRI Rencong dan KRI Tongkol yang sedang berpatroli di laut Sulawesi Selatan diperintahkan meluncur menuju lokasi panas.

Lima kapal Indonesia lainnya menyusul. Kelimanya adalah KRI K.S. Tubun, KRI Nuku, KRI Singa, KRI Tedong Naga, dan KRI Wiratno. Kehadiran tujuh kapal Indonesia di kawasan Ambalat ini untuk sementara mampu mencegah gerakan kapal perang Malaysia ke wilayah Indonesia.

Namun Malaysia tidak mau diam. Sebuah pesawat pengintai ditengarai kembali melintas di wilayah udara Indonesia, Senin pekan lalu. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 12.00 di dekat Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. "Saya tidak bisa memastikan jenis pesawatnya. Tapi, yang jelas, telah memasuki wilayah RI," ujar Prajurit Satu Agus Sugiyono, anggota Batalyon Marinir III Surabaya yang bertugas di Pulau Sebatik.

Sejumlah prajurit Marinir TNI Angkatan Laut sebetulnya telah siap membidikkan senjata mesin berat berpeluru kaliber 12,7 mm. Namun, karena tidak ada perintah untuk menembak, pasukan Marinir urung memuntahkan pelurunya. "Kalau ada perintah, ya, kami tembak," kata Agus Sugiyono.

Manuver Malaysia tidak hanya sebatas itu. Jauh hari sebelumnya, persisnya 7 Januari, Tentara Diraja Malaysia juga menguber-uber kapal motor nelayan Daya Sakti. Kapal berawak enam orang itu sempat dihujani tembakan dan dilempar granat. Daya Sakti yang berada 4 mil di sebelah barat Takat Unarang itu dianggap memasuki wilayah Malaysia.

"Kapal itu rusak karena sempat ditabrak patroli Malaysia," kata H.M. Yusuf, Ketua Himpunan Nelayan Kabupaten Nunukan. Akibat insiden itu, para nelayan takut mencari ikan di seputar Ambalat. H.M. Yusuf yang asli Makassar itu pun meminta bantuan TNI untuk menjaga para nelayan yang melaut di seputar Ambalat. "Tanpa ada jaminan keamanan, ya, berat, karena tentara Malaysia tidak segan menembak kami," katanya.

Ulah tengil kapal patroli Diraja Malaysia terulang, Senin lalu. Ketika KRI K.S. Tubun yang ditumpangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlayar dari Nunukan menuju Sebatik, dua kapal perang Malaysia, KD Pari dan KD Paus, melintas di depan KRI K.S. Tubun. Jaraknya sekitar dua mil laut atau sekitar 3,2 kilometer.

Berbagai provokasi Malaysia itu tidak urung membuat geram masyarakat Indonesia. Selain dihadang TNI, langkah Malaysia hendak mencaplok Ambalat juga disambut kemarahan masyarakat Indonesia. Demo anti-Malaysia bermunculan di sejumlah kota di Tanah Air. Berbagai kelompok masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan untuk menyerang Malaysia. Demo itu diwarnai pembakaran bendera Malaysia.

Jargon "Ganyang Malaysia" yang digelorakan Bung Karno pada 1960-an kembali dikumandangkan para demonstran. Anggota Komisi I DPR-RI, Permadi, pun ikut berdemo bersama mahasiswa. Komisi yang mengurusi bidang pertahanan, luar negeri, dan informasi itu menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. "Usir Malaysia," teriak para demonstran.

Di luar demo anti-Malaysia, ada juga kelompok demonstran yang menuding Pemerintah Indonesia sengaja membelokkan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ke kasus sengketa minyak di Ambalat. Sekelompok mahasiswa Unversitas Negeri Jember, Jawa Timur, misalnya, menuduh pemerintahan Presiden Yudhoyono sengaja menutupi isu kenaikan harga BBM dengan sengketa Ambalat. Demo anti-kenaikan harga BBM sama serunya dengan gerakan anti-Malaysia.

Hanya saja, sebagian warga Malaysia sepertinya cuek saja menghadapi gerakan anti-Malaysia itu. Tidak ada serangan balik dari negeri jiran. Yang ada hanya seruan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja Indonesia. Anjuran ini datang dari Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF).

Ketua Eksekutif Majikan Malaysia, Shamsudin Bardan, menyarankan agar Kerajaan Malaysia membuka peluang lebih lebar untuk mengambil pekerja dari negara lain. "Dengan begitu, Kerajaan Malaysia tidak terlalu bergantung pada tenaga kerja dari Indonesia," kata Shamsudin Bardan, yang dikutip Utusan Malaysia, koran terbesar Malaysia.

Pemberitaan pers Malaysia tentang sengketa Ambalat juga tak segencar media di Tanah Air. Media cetak dan elektronik Malaysia hanya memberi porsi kecil pada berita yang berkaitan dengan Ambalat. Sedangkan media massa Indonesia, selama sepekan belakangan ini, menjadikan Ambalat sebagai headline. Pemberitaan pers Indonesia sempat membuat gusar Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar.

Dia menilai sikap media di Indonesia memicu sentimen anti-Malaysia. "Ini tidak kondusif bagi upaya penyelesaian masalah," ujar Hamid Albar. Soal sengketa wilayah itu, menurut Syed Hamid Albar, Pemerintah Malaysia akan melindungi kepentingan dan kedaulatan negaranya. Tapi dia juga menegaskan, Malaysia tidak menginginkan konfrontasi dengan Indonesia. "Kalau kami melindungi kepentingan dan kedaulatan kami, tidak berarti kami menginginkan konfrontasi," Hamid Albar menegaskan.

Ia berniat menggunakan lintasan diplomatik untuk membereskan sengketa Ambalat. Pertemuan Syed Hamid Albar dengan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda di Jakarta menyepakati, penyelesaian masalah perbatasan laut kedua negara melalui jalan damai. Selanjutnya tim teknis Indonesia dan Malaysia akan bertemu pada 22-23 Maret mendatang.

Kedua negara juga setuju mengambil langkah untuk mengurangi ketegangan yang berkembang beberapa hari terakhir. Hanya saja, jalur perundingan yang dijajal Hassan Wirajuda dan Syed Hamid Albar tidak mengendurkan semangat TNI untuk menempatkan pasukan di Laut Sulawesi. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menegaskan, prajurit TNI tetap disiagakan di perairan penuh minyak yang kini diincar Malaysia itu.

"TNI wajib menjaga negara," kata Endriartono Sutarto. Jumlah pasukan dan alat tempur yang ditempatkan di garis batas akan disetarakan dengan pasukan Malaysia. Saat ini, pasukan Marinir TNI Angkatan Laut yang dikomandani Letnan Dua Willy Udianto disiagakan di Pulau Sebatik. Sedikitnya, tiga senjata mesin berat ditempatkan di sana.

Moncong senjata berat buatan Rusia dan Belgia yang punya daya jangkau tembak 1.200-2.500 meter diarahkan ke kota Tawau, Malaysia. Di wilayah sekitar Pulau Sebatik, sedikitnya terdapat enam pos pertahanan perbatasan. Antara lain pos Marinir di Tinabasan dan Sungai Bolong. Lalu pos TNI Angkatan Laut di Nunukan, Sei Pancang, Sei Nyamuk, dan Sei Taiwan.

Rencananya, satu batalyon Marinir dari Surabaya dikirim ke Tarakan. Pasukan elite TNI Angkatan Laut itu dilengkapi berbagai mesin perang. Antara lain peluncur roket yang mampu memuntahkan 40 peluru sekaligus dalam tiga detik. Jarak tembaknya 24 kilometer, dengan daya hancur 2 kilometer persegi. Selain itu, puluhan tank amfibi BTR-80, yang merupakan tank terbaru Marinir, juga dipersiapkan untuk dikirim ke perbatasan.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Djoko Santoso menyatakan, pasukan TNI Angkatan Darat siap mendukung operasi di Ambalat. ''Kami tidak akan membiarkan satu jengkal tanah pun diambil negara lain," kata Djoko Santoso.

TNI Angkatan Udara mengirim empat pesawat tempur F-16 ke Balikpapan. Pesawat yang semula berada di Madiun itu dipindahkan ke Kalimantan Timur untuk memudahkan kontrol atas Ambalat. Lima kapal perang TNI Angkatan Laut bersenjata lengkap berpatroli di Ambalat. Yakni KRI Nuku, KRI Wiratno, KRI K.S. Tubun, KRI Rencong, dan KRI Tongkol.

Operasi Ambalat juga diperkuat dua pesawat pengintai Nomad, dua pesawat Cassa, dan satu helikopter Bolko yang disiagakan di KRI K.S. Tubun. Pesawat itu bertugas mengawasi gerakan kapal Malaysia yang berusaha menerobos masuk ke wilayah Nusantara sejak sengketa Ambalat mencuat. Menurut Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono, Malaysia menggunakan sengketa Ambalat sebagai uji coba terhadap kekuatan militer Indonesia. "Karena kita dinilai tidak terlalu kuat," tutur Juwono Sudarsono.

Belakangan Malaysia ngeper, karena dalam waktu singkat Indonesia mampu menggerakkan tujuh kapal perangnya ke Ambalat. Apa boleh buat, sikap armada tempur Malaysia di Laut Sulawesi telah membuat geregetan anggota TNI seperti Sersan Kepala Edy Musyawan tadi. Prajurit yang berdinas di Angkatan Laut selama 11 tahun itu mengaku rindu perang. "Kalau Malaysia itu berani jualan, pasti akan kami beli."

Heddy Lugito, Bernadetta Febriana, Luqman Hakim Arifin, dan Alexander Wibisono (Ambalat)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 18 Beredar Senin, 14 Maret 2005]

Tuesday, September 7, 2010

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

Adjie Suradji

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soe- harto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Keberanian

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji Anggota TNI AU


Terlepas dari melawan adat dan terlepas dari siapakah Adjie Suradji sebenarnya, namun tulisan tersebut semoga menyadarkan pemimpin bangsa ini, untuk membawa Indonesia yang lebih baik, dan berkeadilan sosial.